Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pembagian besaran hak waris keponakan. Karena itu, sebaiknya dipahami agar pembagian bisa sesuai aturan hukum agama atau hukum negara secara legal.

Meskipun pada dasarnya prinsip yang digunakan dalam membagi harta warisan juga sudah diatur dalam Islam. Dalam Islam pembagian warisan diatur dengan menggunakan prinsip kekeluargaan atau Al Ahwalus Syahsiah.

Di dalam tuntunan tersebut berisi ajaran mengenai bagaimana cara membagi harta warisan agar nantinya bisa terbagi secara adil. Selain itu, pihak pihak terwaris secara batin menerima.

Karena tidak jarang juga terjadi konflik internal keluarga dalam memperebutkan harta warisan. Bahkan berakhir di pengadilan guna menyelesaikan konflik secara hukum. Padahal jika bisa diselesaikan secara baik menerapkan prinsip kekeluargaan.

Di dalam Islam itu sendiri, apabila tidak ada landasan surat yang legal secara hukum, berupa surat wasiat atau surat pembagian warisan melalui notaris. Surat yang dibuat sebelum pewaris meninggal dunia.

Maka, bisa diselesaikan dengan menggunakan aturan hukum agama. Secara tuntunan sudah ada aturan yang menghendaki pembagian harta warisan. Secara hak terbagi menjadi empat golongan yang berhak atas warisan.

Pembagian ini bisa digunakan ketika pewaris memiliki keluarga sendiri, tidak memiliki keluarga sendiri, tidak memiliki saudara kandung, atau bahkan tidak memiliki keluarga dan orangtua. Oleh karena itu bisa digunakan aturannya.

Pembagian Kelompok atau Golongan Terwaris

Dapat diketahui bahwa ternyata pihak diluar keluarga inti pewaris dapat mendapatkan harta warisan. Bahkan bisa diketahui juga berapa besaran hak waris keponakan. Karena memang masuk di daftar penerima warisan.

Secara agama, pembagian kelompok ahli waris terbagi menjadi tiga: 1) Dzul Faraidh, 2) Dzul Qarabat, dan 3) Dzul Arham. Pembagian ini didasari oleh ikatan keluarga terharap garis pihak pewaris.

Dzul Faraidh merupakan pihak yang secara pasti menerima harta warisan dari pewaris. Contohnya ialah ayah dan ibu dari pihak pewaris. Selebihnya disepakati berdasarkan pembagian warisan dengan perhitungan.

Dzul Qarabat merupakan pihak ahli waris calon penerima warisan yang tidak menentu jumlahnya. Umumnya ahli waris hanya menerima warisan setelah warisan dibagikan bagi pihak yang berhak, yakni anak perempuan dan laki laki.

Sedangkan terakhir yaitu Dzul Arham berupa kerabat jauh yang dimungkinkan mendapatkan warisan pada saat Dzul Faraidh dan Dzul Qarabat tidak ada. Keponakan merupakan salah satunya juga diatur.

Secara pembagian anak perempuan sendiri mendapatkan ½, tetapi jika ada lebih akan mendapatkan 2/4 setiap orangnya. Jika terdapat anak laki laki, maka perbandingan antara kedua 2:1.

Ayah akan mendapatkan 1/7 bagian jika pewaris tidak memiliki anak. Sedangkan Ibu akan mendapatkan 1/6 bagian. Tetapi jika terdapat anak maupun saudara, maka akan mendapatkan 1/3 bagian sisa.

Jika pewaris meninggal tanpa memiliki anak dan ayah. Maka saudara laki laki dan perempuan dari seibu akan mendapatkan masing masing 1/6 bagian. Bagian tersebut harus dibagikan. 

Atau bisa juga digantikan oleh keponakan yang menggantikan dengan sejumlah bisakah keponakan menjadi ahli waris tertentu. Karena bisa berperan sebagai pengganti yang berhak atas hak waris.

Besaran hak waris keponakan juga sama. Apabila terdapat dua orang atau lebih memiliki 1/3 bagian. Jika pewaris telah meninggal namun memiliki ayah dan anak, maka yang berhak ialah saudara kandung seayah.

Maka berhak atas ½ bagian harta warisan. Apabila memiliki 2 atau lebih ahli waris, maka berhak mendapatkan 2/3 bagian. Sedangkan jika memiliki saudara laki laki seayah, perbandingan dengan perempuan 1:2.

Landasan Hukum Mendasar Pembagian Waris

Berdasarkan pendukung legal yang ada, jika tidak ada surat wasiat atau pembagian warisan dari notaris. Maka mengacu komplikasi Hukum Islam yang juga diatur dalam pasal 171.

Terdapat beberapa ketentuan yang menjelaskan pembagian harta warisan. Diantaranya mengenai definisi hukum kewarisan dijelaskan sebagai hukum mengatur mengenai pemindahan hak kepemilikan atas harta yang ditinggalkan pewaris atau tirkah.

Dalam hal itu mengatur siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa pembagiannya. Pewaris yang sah harus didasari keputusan Pengadilan Agama dengan ahli waris beserta aset harta yang dimiliki.

Didalam aturan ini mengatur apabila yang ditentukan sebagai ahli waris ialah pihak yang memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris. Harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris berupa harta dan kepemilikannya.

Harta tersebut terhitung sebagai harta bersama yang sudah dikurangi  hutang dan keperluan lain terkait proses pengurusan pemakaman dan pemberian uang takziah. Semua tersebut kemudian dikalkulasikan.

Apabila wasiat berisi pemberian harta kepada orang lain atau lembaga tertentu. Maka tidak boleh diganggu gugat oleh ahli waris keluarga. Sebagai keluarga yang berstatus ahli waris berkewajiban tanggungan terutang.Termasuk juga besaran hak waris keponakan yang bisa saja tercatut pada pewaris. Selain memiliki hak terhadap harta warisan juga bertanggung jawab jika memiliki tanggungan terutang.


Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.