Anda perlu mengetahui bahwa di Indonesia terdapat tujuh pasal pencemaran nama baik yang dapat menjerat seseorang. Sehingga Anda hendaknya perlu mengetahui karena ini adalah pelanggaran potensial.

Dengan adanya sosial media kasus seperti ini bisa mudah terjadi dan menjerat seseorang. Apabila Anda salah dalam menggunakan sosial media bisa jadi potensi untuk terjerat karenanya terjadi.

Penghinaan ringan hingga berat tentu saja memiliki potensi hukuman pidana baik kurungan maupun denda. Seseorang bisa diganjar dengan hukuman denda sebanyak maksimal 12 miliar rupiah karena kasus pencemaran nama baik.

Tentu ini adalah jumlah fantastis dan tidak semua orang di Indonesia mampu memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu disini recovery justice boleh dilakukan dengan beberapa pertimbangan.

Misalnya saja, pihak pelaku ternyata berada dalam kondisi ekonomi lemah sehingga membuat empati korban. Korban boleh menyelesaikan perkara ini menggunakan jalur kekeluargaan.

Sehingga dua belah pihak bisa melakukan mediasi dan negosiasi langsung agar pelanggaran perbuatan yang termasuk pencemaran nama baik tidak dilakukan lagi. Pihak kepolisian juga akan memfasilitasi adanya recovery justice seperti ini.

Dalam kacamata hukum tentu saja undang undang pencemaran nama baik ini bisa dikategorikan sebagai pasal karet. Dimana seseorang bisa saja lolos dari jeratan hukuman ketika memiliki pengaruh cukup besar meskipun melakukan pelanggaran.

Tidak perlu terlalu panjang mengenai potensi pencemaran nama baik pasal karet, lebih baik pelajari apa saja pasal yang berlaku. Ada dua yaitu KUHP dan UU ITE yang dapat digunakan menyelesaikan perkara ini.

Tiga Pasal Pencemaran Nama Baik yang Perlu Anda Pahami

Pasal 310, 311, dan 315 KUHP mengatur tentang adanya pencemaran nama baik berupa fitnah. Jadi jika seseorang melakukan tuduhan yang terbukti tidak benar baik secara lisan, tulisan, maupun gambar bisa dihukum.

Menurut ketiga peraturan tersebut potensi hukumannya serta pidana pencemaran nama baik bisa paling lama satu tahun empat bulan dengan denda sebesar 4.500 rupiah. Ini masuk dalam contoh laporan pencemaran nama baik terkait penistaan ringan pada seseorang.

Memang jika dilihat dari kacamata logika sebenarnya cukup ringan dan terlalu universal ketika diterapkan. Namun hal tersebut tidak termasuk penistaan menggunakan media digital dimana peraturannya sudah berbeda.

Jadi tidak ada long term credibility loss bagi para korban karena memutihkan namanya kembali cukup mudah dilakukan. Berbeda sekali ketika dibandingkan menggunakan pencemaran menggunakan media digital.

Oleh karena itu hukuman disini relatif ringan sesuai dengan efek jera yang diinginkan oleh negara. Apabila Anda masih tidak terima dengan hukuman diderita atau misalnya ada kehilangan materiil di dalamnya tentu berbeda lagi.

Jika fitnah yang ditimbulkan oleh seseorang membuat Anda kehilangan harta dan martabat tentu ada perdata yang perlu ditempuh sebagai pengganti denda pencemaran nama baik. Jadi ganti rugi immateriil bisa diajukan sebagai kompensasi pelanggaran pasal tentang pencemaran nama baik.

Namun pada kenyataannya ketika fitnah tidak sampai menggunakan media digital jarang sekali digugat lebih dengan uu pencemaran nama baik. Sehingga penerapannya dalam kehidupan nyata masih jarang ditemui secara langsung.

Lebih banyak penyelesaian seperti ini menggunakan jalur kekeluargaan dengan bantuan mediasi pihak kepolisian. Ini akan menghemat lebih banyak waktu dan biaya sehingga kedua belah pihak tidak dirugikan.

UU ITE Terkait Masalah Pencemaran Nama Baik

Sekarang UU ITE sedang trending dan sering menjadi perbincangan banyak orang karena berpotensi disalahgunakan sebagai pasal pencemaran nama baik. Apalagi melihat potensi dendanya yang mencapai jumlah fantastis 12 miliar.

Ada pasal 27 ayat 3, pasal 45, pasal 36, dan pasal 51 ayat 2 UU ITE yang bisa digunakan menyelesaikan perkara pencemaran nama baik dan pasal penghinaan di media sosial. Jadi pada dasarnya adalah pencemaran yang dilakukan dengan menggunakan media digital.

Mengapa dendanya bisa setinggi itu karena besarnya volume pemirsa ketika menggunakan media digital. Jika fitnah hanya dilakukan melalui lisan saja tentu hanya beberapa orang yang mengetahuinya.

Potensi kerugian diderita mungkin dapat dimitigasi secara sederhana. Namun jejak digital tidak dapat dihapus dan potensi pembacanya tentu jutaan orang, inilah pertimbangan mengapa hukumannya berat.

Jadi jika dilihat dari kacamata logika, semakin besar pelaku memberikan efek negatif pada korban maka hukumannya juga berat. Oleh karena itu juga harus dipahami beda pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.

Oleh karena itu ketika fitnah disebarkan menggunakan katakanlah media sosial maka ini potensi kerugiaan immateriilnya tinggi. Korban mungkin tidak akan survive dari perkataan yang diujarkan oleh pelaku.

Kehilangan harta dan harga diri sudah banyak terjadi karena adanya perbuatan tercela ini. Sehingga jika dikatakan tidak seimbang antara KUHP dan UU ITE tentu saja tidak benar dalam kacamata hukum.

Seseorang bisa berpotensi mengakhiri dirinya karena fitnah yang disebarkan menggunakan media digital. Jadi selalu hati-hati ketika menggunakan media sosial agar tidak menjadi korban atau pelaku pelanggaran.Menggunakan media digital secara bijak dan santun adalah solusi agar perkara ini tidak terjadi. Pemahaman tentang pasal pencemaran nama baik juga perlu disosialisasikan secara terbuka agar banyak orang paham.


Seluruh informasi hukum yang ada di artikel ini disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan konsultan hukum berpengalaman dengan klik tombol konsultasi di bawah.